Uniknya Suku Baduy di Banten

Itusaya.com merupakan media independen yang dikelola secara mandiri dengan menyajikan berbagai keindahan dan keunikan yang ada di alam semesta.

Itusaya.com/Suku Baduy merupakan suku etnis Sunda yang bermukim di pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak provinsi Banten.

Suku Baduy percaya, mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang di utus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. 

Menurut kepercayaan mereka, warga Kanekes mempunyai tugas untuk menjaga harmoni dunia. Kepercayaan ini disebut juga dengan Sunda Wiwitan. Kepercayaan yang memuja nenek moyang sebagai bentuk penghormatan.

Penamaan Suku Baduy

Sebutan Baduy awalnya adalah pemberian dari peneliti Belanda yang melihat kemiripan masyarakat di sini dengan masyarakat Badawi atau Bedoin di Arab.

Versi lain menyebutkan, jika nama dari Baduy di adopsi dari nama Sungai Cibaduy yang terletak di bagian utara Desa Kanekes.

Suku Baduy Luar dan Baduy Dalam

Suku ini terbagi dalam dua golongan yaitu: Baduy Dalam dan Baduy Luar. Meskipun sama tetapi keduanya dibedakan oleh aturan adat. Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan menjalankan aturan adat dengan sangat baik. 

Namun, Baduy Luar sudah tidak menjalankan aturan adat yang kental, suku ini sudah terkontaminasi dengan budaya luar. Seperti, di bolehkannya penggunaan barang modern diantaranya barang-barang elektronik dan sabun. Selain itu, Baduy Luar juga sudah di bolehkan menerima tamu hingga diperbolehkan mengunjungi dan menginap.

Perbedaan lainnya terlihat dari pakaian yang dikenakan. Pakaian adat atau baju dalam keseharian Baduy Dalam tersirat dalam balutan warna putih yang mendominasi, kadang hanya bagian celananya saja berwarna hitam ataupun biru tua. 

Mereka sangat percaya bahwa warna putih melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar. Beda dengan Baduy Luar yang menggunakan baju serba hitam atau biru tua saat melakukan aktivitas.

Suku Baduy Dalam hanya tersebar di tiga kampung yakni Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Sedangkan kelompok masyarakat Baduy Luar tinggal di 50 kampung lainnya yang tersebar di bukit-bukit Gunung Kendeng.

Mata Pencaharian Suku Baduy

Suku Baduy di pimpin oleh ketua adat yang disebut Pu'un dan dibantu oleh seorang wakil yang disebut Jaro, mereka bertugas mengakomodir kebutuhan dasar yang diperlukan semua masyarakat Suku Baduy.

Mata pencaharian mayarakat Suku Baduy umumnya berladang dan bertani. Alamnya yang subur dan berlimpah mempermudah suku ini dalam menghasilkan kebutuhan sehari-hari. Hasil berupa kopi, padi, dan umbi-umbian menjadi komoditas yang paling sering ditanam oleh masyarakat Baduy.

Namun dalam praktek berladang dan bertani, Suku Baduy tidak menggunakan kerbau atau sapi dalam mengolah lahan mereka. Hewan berkaki empat selain anjing sangat dilarang masuk ke Desa Kanekes demi menjaga kelestarian alam.

Rumah Suku Baduy

Proses pelestarian alam juga berlaku saat membangun rumah mereka yang terbuat dari kayu dan bambu. Hal ini juga terlihat dari kontur tanah yang masih miring dan tidak digali demi menjaga alam yang sudah memberi mereka kehidupan. 

Rumah-rumah di sini dibangun dengan batu kali sebagai dasar fondasi, karena itulah tiang-tiang penyangga rumah terlihat tidak sama tinggi dengan tiang lainnya.

Rumah adat Baduy terbagi dalam 3 ruangan dengan fungsi masing-masing berbeda. Bagian depan difungsikan sebagai tempat menerima tamu dan tempat menenun untuk kaum perempuan. 

Bagian tengah berfungsi untuk ruang keluarga dan ruang tidur, serta ruangan ketiga yang terletak di bagian belakang digunakan untuk memasak dan tempat untuk menyimpan hasil ladang. 

Semua ruangan dilapisi dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Sedangkan pada bagian atap rumah terbuat dari serat ijuk atau daun pohon kelapa. 

Rumah suku Baduy dibangun saling berhadap-hadapan dan selalu menghadap utara atau selatan. Faktor sinar matahari yang menyinari dan masuk ke dalam ruangan menjadi alasan mengapa rumah di sini dibangun hanya menghadap dua arah itu saja.

Aktifitas Menenun

Layaknya kebanyakan suku di nusantara, Suku Baduy juga mengenal budaya menenun yang telah diturunkan nenek moyang mereka. Menenun hanya dilakukan oleh kaum perempuan yang sudah diajarkan sejak usia dini. 

Ada mitos yang berlaku bila pihak laki-laki tersentuh alat menenun yang terbuat dari kayu ini maka laki-laki tersebut akan berubah perilakunya menyerupai tingkah laku perempuan.

Tradisi menenun ini menghasilkan kain tenun yang digunakan dalam pakaian adat Suku Baduy. Kain ini bertekstur lembut untuk pakaian namun ada juga yang bertekstur kasar. Kain yang agak kasar biasanya digunakan masyarakat Baduy untuk ikat kepala dan ikat pinggang.

Selain digunakan dalam keseharian, kain ini juga diperjualbelikan untuk wisatawan yang datang berkunjung. Tidak hanya kain, ada juga kain dari kulit kayu pohon terep yang menjadi ciri khas dari Suku Baduy dalam urusan benda seni. 

Tas yang bernama koja atau jarog ini digunakan Suku Baduy untuk menyimpan segala macam kebutuhan yang diperlukan pada saat beraktivitas atau perjalanan.

Prosesi Pemakaman Suku Baduy

Masyarakat Suku Baduy menyebut peristiwa kematian sebagai Kaparupuhan yang memiliki arti kehilangan.

Masyarakat Baduy dalam dan luar memiliki perbedaan dalam melaksanakan upacara kematian. Masyarakat Baduy dalam akan melaksanakan ritual kematian selama 40 hari, sedangkan Baduy luar selama 7 hari.

Ketika mendengar kabar duka dari kerabat maupun warga terdekat, masyarakat Baduy akan berdatangan menuju rumah duka dengan membawa sembako atau makanan.

Mereka juga akan membantu proses pemakaman di rumah duka, mulai dari mengurus jenazah hingga proses penguburan.

Proses mengurus jenazah dilakukan oleh masyarakat sekitar di dalam rumah duka. Dimana pihak laki-laki akan berperan dalam proses penggalian kubur serta membuat keranda dengan menggunakan bambu.

Sementara itu, pihak perempuan akan bertugas memasak hidangan serta menyiapkan keperluan lain untuk penguburan.

Pengurus jenazah juga akan dibedakan tergantung dengan jenis kelamin jenazah, jika jenazah tersebut wanita maka ia akan diurus oleh penghulu bikang. Sedangkan, jika jenazahnya laki-laki akan diurus oleh penghulu jalu.

Pada hari pertama, masyarakat Suku Baduy akan menyiapkan perlengkapan prosesi penguburan, seperti dua buah pasarad (keranda), tempat dan peralatan mandi, boeh (kain kafan) atau tenun serta sesaji berisi menyan dan makanan.

Orang yang sudah meninggal akan dibawa dengan keranda yang sudah dibuat dan dimandikan oleh ketua adat (penghulu).

Dalam memandikan jenazah, masyarakat Suku Baduy memanfaatkan daun sebagai pengganti sabun dan ditempatkan di atas pelepah pisang atau bambu.

Jenazah yang sudah dimandikan juga akan dibungkus dengan selambar boeh (kain kafan) atau kain tenun yang sudah disiapkan, lalu dipindahkan ke sebuah peti baru dengan kain tenun yang dilapisi oleh kain berwarna merah atau biru.

Jenazah akan diberangkatkan dari rumah duka menggunakan pasarad menuju pemakaman yang ada di masing-masing kampung.

Semua proses pemakaman akan dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dilarang ikut meskipun orang meninggal tersebut adalah keluarganya.

Makam Suku Baduy terpisah dari pemukiman yang terletak di sebelah barat laut dan dipisahkan oleh aliran sungai sebagai simbol pemisah dunia yang berbeda.

Proses pemakaman akan dipimpin oleh Jaro Tangtu dan salah satu perwakilan keluarga sebagai Ceurik Panglayuan.

Jenazah kemudian akan diletakkan di liang lahat dengan menghadap ke selatan yang merupakan arah Sasaka Domas dan kepala menghadap barat yang merupakan arah Sasaka Pada Agung atau tempat suci masyarakat Baduy.

Setelah dimakamkan, akan dilanjutkan dengan berdoa agar jiwa dari orang yang sudah meninggal cepat sampai di Mandala Hiyang atau tempat suci.

Keranda atau pasarad yang digunakan untuk membawa jenazah juga akan dipotong dan makam juga akan ditanam pohon Hanjuang.

Setelah upacara pemakaman selesai, masyarakat Suku Baduy akan melanjutkan rangkaian acara ritual upacara kematian ini hingga 7 hari bagi Baduy luar dan 40 hari untuk Baduy dalam.

Warga sekitar akan berkumpul selama tiga malam di rumah duka, keluarga duka juga dilarang untuk bepergian ke luar rumah selama tujuh hari.

Pada hari ketiga, keluarga yang ditinggal akan menumbuk padi untuk digunakan sebagai jamuan dalam rangkaian upacara kematian.

Mereka juga memberikan sesaji berisi makanan-makanan khas Suku Baduy, sedangkan pada hari ketujuh masyarakat Suku Baduy membuat tumpeng sebagai tanda berakhirnya kehidupan orang yang meninggal dunia.

Masyarakat Baduy tidak memiliki kebiasaan untuk menjaga makam, mereka juga memiliki keyakinan bahwa pada hari ketujuh makam orang yang meninggal dapat digunakan sebagai ladang atau kebun.

IS Media menggunakan cookie untuk menawarkan dan memastikan pengalaman menjelajah yang lebih baik. Selengkapnya!