Ini adalah salah satu contoh "pasang" atau pesan yang harus di junjung tinggi agar ekosistem hutan tetap terjaga. Menurut keyakinan Suku Kajang, hutan memiliki fungsi ritual dan ekologis. Sehingga keberadaannya sangatlah penting bagi kehidupan mereka.
Mereka meyakini bahwa hutan adalah tempat sakral karena dari sinilah bumi pertama kali dibuat, sehingga menjadi tempat untuk melakukan berbagai upacara adat.
Selain itu, mereka juga meyakini bahwa hutan merupakan sumber hujan dan sumber air dalam bahasa kajang di istikahkan (tumbusu’).
Hal inilah yang semakin mengeratkan kepercayaan mereka akan pentingnya keberadaan hutan sehingga dibuatlah beberapa aturan tentang larangan menebang pohon, berburu satwa, merusak rumah lebah, bahkan mencabut rumput.
Masyarakat Suku Kajang juga hidup dalam sebuah filosofi bernama Kamase-masea, yaitu cara hidup tradisional dan bersahaja.
Filosofi ini mengajarkan untuk hidup sederhana dan secukupnya sehingga pengelolaan sumber daya alam di hutan dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekologisnya.
Hal inilah yang membuat kawasan hutan mereka sehingga dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
Hutan keramat (Borong Karamaka),
Kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan kecuali kegiatan adat atau upacara ritual. Tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas tanah, atau kegiatan lain yang mengganggu flora dan fauna di kawasan ini.
Orang yang melanggar akan dikenai denda dan harus mengembalikan kayu yang diambil ke hutan.
Hutan perbatasan (Borong Batasayya),
Hutan yang diperbolehkan untuk diambil kayunya dengan izin Ammatoa sepanjang persediaan masih ada. Kayu yang bisa diambil hanya beberapa jenis saja dan digunakan untuk tujuan khusus, seperti membangun sarana umum atau rumah bagi warga yang tidak mampu.
Pengambilan kayu dari hasil menebang pohon harus disertai dengan penanaman pohon pengganti.
Hutan rakyat (Borong Luara’),
Hutan yang bisa di kelola oleh masyarakat suku kajang namun tetap harus sesuai dengan aturan-aturan adat.