www.itusaya.com/Teman-teman pernah mendengar sebuah suku cukup unik, mendiami suatu daerah di tanah Sulawesi. Konon katanya suku ini berbeda dengan suku yang lain pada umumnya. Yah, yang ku maksud Suku To Balo yang berada di Desa Bulo-Bulo sekitar 70 kilometer arah tenggara dari Kota Barru.
Desa ini berpenghuni + 440 KK sekitar 1.720 jiwa, Sebuah desa yang saat ini sudah dapat dijangkau ini dengan kendaraan roda empat. Meski kondisi jalannya masih sulit karena reruntuhan tebing, bebatuan dan jurang-jurang yang berbahaya.
Penduduk Desa Bulo-Bulo ini sebenarnya tidak hanya dihuni oleh Suku To Balo saja, disana juga didiami suku Makasar dan Suku Bugis yang merupakan penduduk asli. Komunitas Suku To Balo juga sebenarnya suku asli yang mendiami salah satu dusun yang disebut dusun Labaka yang hanya berpenghuni sekitar 50 KK.
Suku ini menempati puncak gunung tandus, dihiasi tebing-tebing berbatuan granit bagaikan relief-relief abstrak, yang pada puncaknya berupa padang sabana. Menurut kepercayaan suku ini, bukit-bukit serta padang sabana yang mengitari dusun ini merupakan lingkungan tempat tumbuhnya Aju Welenrengnge, pohon raksasa yang dalam mitologi La Galigo ditebang oleh Sawerigading untuk membuat perahu yang digunakan berlayar ke Tanah Cina.
Lebih uniknya karena populasi dari suku ini terbatas tak boleh lebih dari 11 orang, jadi jika ada yang melahirkan maka akan ada kematian dari salah satu anggota keluarga. Entah ini benar adanya atau hanya sekedar mitos namun inilah kepercayaan yang dibangun dan diyakini oleh suku ini. Berdasarkan buku informasi wisata Kabupaten Barru berjudul " Barru dalam visualisasi" yang diterbitkan pemda Barru tahun 1997.
Selain keunikan tersebut suku ini juga dikatakan tidak mempan dibakar api, buktinya dengan contoh adanya Tari Sere Api, yaitu tari yang dilaksanakan dengan menari diatas bara api yang masih menyala.
Tari ini menurut kepercayaan mereka adalah tari ritual budaya suku To Balo yang mengungkapkan rasa syukur atas kelahiran putra / putri penghulu mereka, namun ada juga yang menganggap bahwa tari ini adalah tari yang menggambarkan pengungkapan rasa terima kasih atas hasil panen yang berlimpah, makanya tari ini sering dipadukan dengan tari Mappadendang yaitu tari pesta panen.
Masayarakat suku ini secara fisik memiliki ciri khas sendiri yaitu, penampilan kulit yang putih (belang) pada bagian tubuhnya yaitu di kaki, badan dan tangan, dan yang unik adanya bercak putih yang ada di dahi yang berbentuk segi tiga, makanya mereka disebut juga dengan To = orang Balo=Belang yang berarti orang belang.
Kelainan yang dimiliki suku ini bukanlah penyakit tetapi pembawaan gen. Akan tetapi, penduduk setempat meyakini sebagai kutukan dewa. Alkisah suatu hari, ada satu keluarga yang melihat sepasang kuda belang jantan dan betina yang hendak kawin. Namun mereka Bukan hanya menyaksikan, keluarga itu juga menegur dan mengusik tingkah laku ke-2 kuda itu.
Maka geramlah dewa lalu mengutuk keluarga ini, hingga berkulit seperti kuda belang atau belang. Lantaran malu dengan keadaan kulitnya yang belang, keluarga tersebut memilih untuk hidup di pegunungan yang jauh dari keramaian. Ada juga cerita versi lain. Para kelompok Tobalo yakin, manusia dan kuda turun bersama dari langit kala bumi pertama diciptakan. Artinya, hewan berkaki empat itu bersaudara dengan Manusia.
Suku To balo menggunakan bahasa sendiri yang oleh mereka disebut bahasa Tobentong, bahasa ini merupakan perpaduan kode bahasa Bugis, Makasar dan Konjo, hal ini merupakan fenomena lingual yang langka, karena meskipun populasinya sedikit tapi mereka mempunyai dan mampu memelihara bahasanya sendiri sebagai simbol eksitensi mereka dan mereka menghormatinya.
Namun demikian mereka juga bisa menggunakan bahasa Makassar, Bugis dan Konjo untuk berkomunikasi dengan suku yang lain. Karena ke khususannya ini maka sebagian peneliti menyebut suku ini sebagai suku Tobentong.
Mereka pada umumnya kawin dengan kelompok mereka sendiri sehingga dengan demikian, keturunan mereka akan menghasilkan kulit yang sama, tapi jika mereka kawin dengan kelompok yang lain, maka kemungkinan besar akan memiliki keturunan yang berbeda.
Kehidupan mereka saat ini sepertinya tidak pernah berubah dari waktu ke watu, tapi beberapa waktu terakhir suku ini sudah mulai menerima beberapa budaya yang masuk ke tempat mereka, seperti adanya sekolah, bahkan anak-anak di sana sudah terbiasa untuk sekolah meskipun dalam bentuk yang sederhana, tapi walau begitu perlahan akan mengikuti perkembangan zaman, meski dalam batas-batas tertentu mereka akan tetap menyakini dan menjaga hal-hal yang bersifat spiritual di lingkungan mereka.
Desa ini berpenghuni + 440 KK sekitar 1.720 jiwa, Sebuah desa yang saat ini sudah dapat dijangkau ini dengan kendaraan roda empat. Meski kondisi jalannya masih sulit karena reruntuhan tebing, bebatuan dan jurang-jurang yang berbahaya.
Penduduk Desa Bulo-Bulo ini sebenarnya tidak hanya dihuni oleh Suku To Balo saja, disana juga didiami suku Makasar dan Suku Bugis yang merupakan penduduk asli. Komunitas Suku To Balo juga sebenarnya suku asli yang mendiami salah satu dusun yang disebut dusun Labaka yang hanya berpenghuni sekitar 50 KK.
Suku ini menempati puncak gunung tandus, dihiasi tebing-tebing berbatuan granit bagaikan relief-relief abstrak, yang pada puncaknya berupa padang sabana. Menurut kepercayaan suku ini, bukit-bukit serta padang sabana yang mengitari dusun ini merupakan lingkungan tempat tumbuhnya Aju Welenrengnge, pohon raksasa yang dalam mitologi La Galigo ditebang oleh Sawerigading untuk membuat perahu yang digunakan berlayar ke Tanah Cina.
Lebih uniknya karena populasi dari suku ini terbatas tak boleh lebih dari 11 orang, jadi jika ada yang melahirkan maka akan ada kematian dari salah satu anggota keluarga. Entah ini benar adanya atau hanya sekedar mitos namun inilah kepercayaan yang dibangun dan diyakini oleh suku ini. Berdasarkan buku informasi wisata Kabupaten Barru berjudul " Barru dalam visualisasi" yang diterbitkan pemda Barru tahun 1997.
Selain keunikan tersebut suku ini juga dikatakan tidak mempan dibakar api, buktinya dengan contoh adanya Tari Sere Api, yaitu tari yang dilaksanakan dengan menari diatas bara api yang masih menyala.
Tari ini menurut kepercayaan mereka adalah tari ritual budaya suku To Balo yang mengungkapkan rasa syukur atas kelahiran putra / putri penghulu mereka, namun ada juga yang menganggap bahwa tari ini adalah tari yang menggambarkan pengungkapan rasa terima kasih atas hasil panen yang berlimpah, makanya tari ini sering dipadukan dengan tari Mappadendang yaitu tari pesta panen.
Masayarakat suku ini secara fisik memiliki ciri khas sendiri yaitu, penampilan kulit yang putih (belang) pada bagian tubuhnya yaitu di kaki, badan dan tangan, dan yang unik adanya bercak putih yang ada di dahi yang berbentuk segi tiga, makanya mereka disebut juga dengan To = orang Balo=Belang yang berarti orang belang.
Kelainan yang dimiliki suku ini bukanlah penyakit tetapi pembawaan gen. Akan tetapi, penduduk setempat meyakini sebagai kutukan dewa. Alkisah suatu hari, ada satu keluarga yang melihat sepasang kuda belang jantan dan betina yang hendak kawin. Namun mereka Bukan hanya menyaksikan, keluarga itu juga menegur dan mengusik tingkah laku ke-2 kuda itu.
Maka geramlah dewa lalu mengutuk keluarga ini, hingga berkulit seperti kuda belang atau belang. Lantaran malu dengan keadaan kulitnya yang belang, keluarga tersebut memilih untuk hidup di pegunungan yang jauh dari keramaian. Ada juga cerita versi lain. Para kelompok Tobalo yakin, manusia dan kuda turun bersama dari langit kala bumi pertama diciptakan. Artinya, hewan berkaki empat itu bersaudara dengan Manusia.
Suku To balo menggunakan bahasa sendiri yang oleh mereka disebut bahasa Tobentong, bahasa ini merupakan perpaduan kode bahasa Bugis, Makasar dan Konjo, hal ini merupakan fenomena lingual yang langka, karena meskipun populasinya sedikit tapi mereka mempunyai dan mampu memelihara bahasanya sendiri sebagai simbol eksitensi mereka dan mereka menghormatinya.
Namun demikian mereka juga bisa menggunakan bahasa Makassar, Bugis dan Konjo untuk berkomunikasi dengan suku yang lain. Karena ke khususannya ini maka sebagian peneliti menyebut suku ini sebagai suku Tobentong.
Mereka pada umumnya kawin dengan kelompok mereka sendiri sehingga dengan demikian, keturunan mereka akan menghasilkan kulit yang sama, tapi jika mereka kawin dengan kelompok yang lain, maka kemungkinan besar akan memiliki keturunan yang berbeda.
Kehidupan mereka saat ini sepertinya tidak pernah berubah dari waktu ke watu, tapi beberapa waktu terakhir suku ini sudah mulai menerima beberapa budaya yang masuk ke tempat mereka, seperti adanya sekolah, bahkan anak-anak di sana sudah terbiasa untuk sekolah meskipun dalam bentuk yang sederhana, tapi walau begitu perlahan akan mengikuti perkembangan zaman, meski dalam batas-batas tertentu mereka akan tetap menyakini dan menjaga hal-hal yang bersifat spiritual di lingkungan mereka.