www.itusaya.com/Maggalenceng merupakan salah satu permainan di tanah Bugis. Permainan ini dulunya dianggap sakral karena hanya dimainkan pada saat ada kematian. Dengan kata lain, permainan ini tidak boleh dilakukan di sembarang waktu dan sembarang tempat karena dapat mendatangkan kematian bagi anggota keluarga si pemain. Oleh karena itu, para orang tua melarang siapa saja yang memainkan permainan ini pada saat yang tidak tepat bukan saat-saat ada kematian.
Penyelenggara permainan ini adalah pihak keluarga yang berkabung. Lama dan singkatnya penyelenggaraan permainan ini bergantung pada status sosial keluarga yang meninggal. Dalam konteks ini jika orang yang meninggalkan adalah orang biasa, maka penyelenggaraan permainan hanya dilakukan dalam waktu 7 hari berturut-turut dan dilakukan pada malam sampai menjelang pagi. Namun, jika orang yang meninggal mempunyai status sosial yang tinggi dalam masyarakat atau dalam hal ini kaum bangsawan, maka permainan biasanya akan diselenggarakan selama 40--100 hari.
Permainan ini dapat dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan. Namun, saat ini, secara umum dimainkan oleh kaum perempuan, terutama anak-anak yang berusia 6--12 tahun. Kaum laki-laki sangat jarang memainkannya. Jumlah pemain tergantung dari jumlah papan yang tersedia. Untuk satu papan permainan hanya dapat dimainkan oleh dua orang.
Peralatan yang digunakan dalam permainan adalah aggalancengngeng yang terbuat dari kayu yang tebalnya kurang lebih 10 cm, lebar 20 cm dan panjang 50 cm. Kayu tersebut diberi lubang-lubang (bundar) dengan kedalaman kurang lebih 5 cm. Jumlah lubang seluruhnya adalah 12 buah, dengan rincian 10 lubang dibuat dua jejer (masing-masing jejer 5 lubang), kemudian dua lubang yang agak besar di setiap ujungnya (aggalancengngeng). Selain aggalancengngeng, permainan ini juga menggunakan biji-biji buah pohon asam atau kerikil yang jumlahnya antara 50--70 biji untuk mengisi lubang yang tersedia. Biji-biji tersebut nantinya dibagi menjadi dua untuk masing-masing pemain.
Ada empat cara yang dikenal oleh orang Bugis-Makassar dalam permainan ini. Pertama, mabbetta, yaitu jika biji yang terakhir kena lubang yang kosong di daerahnya sendiri, sementara lubang lawan di depannya berisi maka bijinya diambil sebagai kemenangan pihak lawan. Kedua, maddappeng, yaitu apabila biji persis habis pada lubang lawan yang berisi tiga biji, maka bijinya diambil sebagai kemenangan lawan. Ketiga, gabungan dari mabbetta dan maddappeng. Dan, keempat sigappae, yaitu masing-masing ulu tidak diisi tetapi digunakan sebagai tempat biji kemenangan.
Jalannya permainan dimulai dengan memasukkan biji-biji ke dalam lubang-lubang yang ada di dalam papan permainan (aggalancengngeng), kecuali dua buah lubang besar saja yang berada di ujung aggalancengngeng. Kedua lubang ini tidak boleh diisi. Jumlah biji pada setiap lubang adalah sama. Jika jumlah seluruh biji yang disepakati adalah 70 biji, maka setiap lubang akan diisi oleh 7 biji.
Kemudian salah satu pemain yang mendapat kesempatan pertama akan mengambil semua biji dari lubang paling ujung yang ada di daerahnya sendiri. Biji-biji tersebut kemudian akan diedarkan satu persatu dengan arah yang berlawanan jarum jam ke setiap lubang yang ada di papan permainan, kecuali satu lubang besar di ujung papan yang menjadi “milik” lawan.
Apabila biji masuk ke lubang yang paling besar (miliknya sendiri), maka biji tersebut merupakan nilai bagi pemain yang bersangkutan. Namun, jika biji yang terakhir jatuh ke lubang yang masih ada bijinya, maka pemain mengambil biji-biji tersebut untuk diedarkan kembali. Demikian seterusnya hingga suatu saat biji terakhir jatuh pada lubang yang kosong.
Jika itu terjadi, maka pemain yang lain (lawan mainnya) akan menggantikannya. Permainan akan berlangsung terus hingga biji-biji yang berada di lubang-lubang kecil seluruhnya masuk ke dua buah lubang besar di ujung papan permainan milik kedua pemain. Bagi pemain yang mendapatkan biji terbanyak akan menjadi pemenangnya.
Awalnya kesakralan permainan ini sebenarnya hanya untuk berjaga-jaga agar tidak mengantuk dan sekaligus menghibur anggota keluarga yang meninggal, namun kesakralan itu kini berangsur-angsur mulai memudar sejak datangnya agama Islam yang dibawa oleh Abdul Makmur dari Minangkabau (Sumatera Barat) pada abad ke-16.
Dewasa ini tidak ada lagi kesakralannya. Malahan, fungsinya berubah menjadi suatu permainan muda-mudi yang kerap ditemukan dimana saja. Melalui permainan ini remaja yang berlainan jenis itu saling merajuk dan atau mengungkapkan isi hatinya dengan nyanyian yang berupa syair. Syair itu antara lain adalah sebagai berikut:
Addara-dara teduce
Anggalacang tasitembak
Manna taduce
Naduceanji kalenna
Manna tatette
Natettekanji kalenna
Artinya:
Bermain dara-dara tidak pernah salah
Bermain galaceng tidak saling mengalahkan
Walau tidak kalah
Dia mengalahkan dirinya
Meskipun tidak menang
Dia memenangkan dirinya
Penyelenggara permainan ini adalah pihak keluarga yang berkabung. Lama dan singkatnya penyelenggaraan permainan ini bergantung pada status sosial keluarga yang meninggal. Dalam konteks ini jika orang yang meninggalkan adalah orang biasa, maka penyelenggaraan permainan hanya dilakukan dalam waktu 7 hari berturut-turut dan dilakukan pada malam sampai menjelang pagi. Namun, jika orang yang meninggal mempunyai status sosial yang tinggi dalam masyarakat atau dalam hal ini kaum bangsawan, maka permainan biasanya akan diselenggarakan selama 40--100 hari.
Permainan ini dapat dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan. Namun, saat ini, secara umum dimainkan oleh kaum perempuan, terutama anak-anak yang berusia 6--12 tahun. Kaum laki-laki sangat jarang memainkannya. Jumlah pemain tergantung dari jumlah papan yang tersedia. Untuk satu papan permainan hanya dapat dimainkan oleh dua orang.
Peralatan yang digunakan dalam permainan adalah aggalancengngeng yang terbuat dari kayu yang tebalnya kurang lebih 10 cm, lebar 20 cm dan panjang 50 cm. Kayu tersebut diberi lubang-lubang (bundar) dengan kedalaman kurang lebih 5 cm. Jumlah lubang seluruhnya adalah 12 buah, dengan rincian 10 lubang dibuat dua jejer (masing-masing jejer 5 lubang), kemudian dua lubang yang agak besar di setiap ujungnya (aggalancengngeng). Selain aggalancengngeng, permainan ini juga menggunakan biji-biji buah pohon asam atau kerikil yang jumlahnya antara 50--70 biji untuk mengisi lubang yang tersedia. Biji-biji tersebut nantinya dibagi menjadi dua untuk masing-masing pemain.
Ada empat cara yang dikenal oleh orang Bugis-Makassar dalam permainan ini. Pertama, mabbetta, yaitu jika biji yang terakhir kena lubang yang kosong di daerahnya sendiri, sementara lubang lawan di depannya berisi maka bijinya diambil sebagai kemenangan pihak lawan. Kedua, maddappeng, yaitu apabila biji persis habis pada lubang lawan yang berisi tiga biji, maka bijinya diambil sebagai kemenangan lawan. Ketiga, gabungan dari mabbetta dan maddappeng. Dan, keempat sigappae, yaitu masing-masing ulu tidak diisi tetapi digunakan sebagai tempat biji kemenangan.
Jalannya permainan dimulai dengan memasukkan biji-biji ke dalam lubang-lubang yang ada di dalam papan permainan (aggalancengngeng), kecuali dua buah lubang besar saja yang berada di ujung aggalancengngeng. Kedua lubang ini tidak boleh diisi. Jumlah biji pada setiap lubang adalah sama. Jika jumlah seluruh biji yang disepakati adalah 70 biji, maka setiap lubang akan diisi oleh 7 biji.
Kemudian salah satu pemain yang mendapat kesempatan pertama akan mengambil semua biji dari lubang paling ujung yang ada di daerahnya sendiri. Biji-biji tersebut kemudian akan diedarkan satu persatu dengan arah yang berlawanan jarum jam ke setiap lubang yang ada di papan permainan, kecuali satu lubang besar di ujung papan yang menjadi “milik” lawan.
Apabila biji masuk ke lubang yang paling besar (miliknya sendiri), maka biji tersebut merupakan nilai bagi pemain yang bersangkutan. Namun, jika biji yang terakhir jatuh ke lubang yang masih ada bijinya, maka pemain mengambil biji-biji tersebut untuk diedarkan kembali. Demikian seterusnya hingga suatu saat biji terakhir jatuh pada lubang yang kosong.
Jika itu terjadi, maka pemain yang lain (lawan mainnya) akan menggantikannya. Permainan akan berlangsung terus hingga biji-biji yang berada di lubang-lubang kecil seluruhnya masuk ke dua buah lubang besar di ujung papan permainan milik kedua pemain. Bagi pemain yang mendapatkan biji terbanyak akan menjadi pemenangnya.
Awalnya kesakralan permainan ini sebenarnya hanya untuk berjaga-jaga agar tidak mengantuk dan sekaligus menghibur anggota keluarga yang meninggal, namun kesakralan itu kini berangsur-angsur mulai memudar sejak datangnya agama Islam yang dibawa oleh Abdul Makmur dari Minangkabau (Sumatera Barat) pada abad ke-16.
Dewasa ini tidak ada lagi kesakralannya. Malahan, fungsinya berubah menjadi suatu permainan muda-mudi yang kerap ditemukan dimana saja. Melalui permainan ini remaja yang berlainan jenis itu saling merajuk dan atau mengungkapkan isi hatinya dengan nyanyian yang berupa syair. Syair itu antara lain adalah sebagai berikut:
Addara-dara teduce
Anggalacang tasitembak
Manna taduce
Naduceanji kalenna
Manna tatette
Natettekanji kalenna
Artinya:
Bermain dara-dara tidak pernah salah
Bermain galaceng tidak saling mengalahkan
Walau tidak kalah
Dia mengalahkan dirinya
Meskipun tidak menang
Dia memenangkan dirinya
Nilai yang terkandung dalam permainan maggalenceng adalah kecermatan dan sportivitas. Nilai kecermatan tercermin dari perlunya perhitungan yang pas agar biji-biji yang akan dijatuhkan tidak mengenai lubang yang kosong sehingga dapat terus bermain dan mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya. Nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada. (pepeng).