www.itusaya.com/Tana Toraja adalah salah satu tujuan wisata terbaik yang ada di Sulawesi Selatan. Tana Toraja dapat diakses dengan dua rute, yaitu darat dan udara. Rute darat membutuhkan waktu cukup lama, berkisar 8-9 jam. Sedangkan rute pesawat dari Makassar menempuh waktu selama 50 menit. Namun, penerbangan hanya tersedia pada hari dan jam tertentu saja.
Keindahan alam dan budaya leluhur yang dimiliki orang Toraja menjadi daya pikat tersendiri. Memasuki pusat kota Toraja, teman-teman akan disuguhkan kemegahan rumah-rumah tongkonan yang menjadi simbol kekayaan tradisi leluhur ini.
Tidak berhenti sampai di situ. Di tempat yang lain, teman-teman akan melihat berbagai hal unik dari upacara adat, kuburan batu, hingga kuburan khusus bayi. Ya, Toraja menjadi salah satu daerah di dunia yang menyakini kesakralan kematian bayi.
Mendengar orang yang meninggal di makamkan dalam tanah merupakan hal yang biasa dan sudah lumrah, apalagi jika beragam islam, sudah pasti media pemakamannya di dalam tanah. Terus bagaimana jadinya jika manusia dimakamkan di dalam batang pohon. Yah, inilah adat dan budaya yang unik dan menarik yang diperankan oleh suku Toraja. Mereka memakamkan bayinya bukan dalam tanah melainkan dalam batang sebuah pohon.
Kambira merupakan salah satu kampung yang berlokasi di Kecamatan Sangalla, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Apabila ditempuh dari Rantepao yang merupakan ibu kota Toraja Utara tempat ini memang lumayan jauh. Akan tetapi akan menjadi dekat tatkala kita menempuhnya dari Makale, yaitu ibu kota Tana Toraja.
Namanya pohon Tarra, Pohon yang tinggi menjulang ini menjadi tempat peristirahatan terakhir anak penduduk Toraja yang meninggal dunia. Pemakaman ini sering pula disebut sebagai Passilirang oleh masyarakat Suku Toraja.
Pohon Tarra menjadi media kuburan bayi mereka karena pohon ini memiliki banyak getah putih yang mereka yakini dan percaya bahwa getah yang terkandung dalam batang pohon ini bisa menjadi pengganti ASI (Air Susu Ibu). Akan tetapi, pemakaman seperti ini khusus untuk bayi yang baru lahir dan belum sempat menikmati hidup bersama orangtuanya. Dalam adat mereka, penguburan bayi dalam pohon Tarra ini tidak sembarangan. Bayi yang berhak masuk ke tanaman ini adalah bayi yang usianya belum mencapai 6 bulan dan belum tumbuh gigi.
Selain pohon ini dipercaya getahnya bisa menjadi sumber ASI untuk bayi, mereka juga meyakini bahwa pohon ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan sudah dimanfaatkan oleh nenek moyang mereka yang menganut kepercayaan Aluk Todolo.
Dari segi ukuran, pohon ini bisa tumbuh sangat besar, dengan diameter sekitar 80 hingga 100 cm. Pohon ini juga hanya bisa tumbuh dan hanya dapat ditemukan di Desa Kambira, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Letaknya di tengah hutan, di tengah rerimbunan pohon bambu dan tanaman liar lain. Usia pohon-pohon yang tua membuat tempat tumbuh pohon ini dijadikan sebagai objek wisata, Kambira Baby Graves
Selain mengandung banyak getah sebagai air susu, batang Tarra juga dipercaya sebagai rahim bagi bayi. Masyarakat Kambira percaya bahwa bayi adalah makhluk suci, maka bersemayam di dalam pohon ini sama artinya dengan menyelamatkan generasi selanjutnya. Dalam artian, bayi yang meninggal dalam sebuah keluarga lalu dimakamkan di dalam pohon Tarra akan mampu mencegah kematian bayi selanjutnya.
Dalam satu pohon Tarra bisa ditempati oleh banyak bayi, namun uniknya pohon yang ada di tengah hutan ini tak pernah mengeluarkan bau busuk, sebanyak apapun penduduk yang memenuhi batangnya. Hal tersebut diyakini oleh masyarakat karena Tarra merupakan wujud yang menghidupi. Para bayi yang dimasukkan dalam ‘rahim’ pohon ini akan menyatu dengan sendirinya berkat bantuan getah pohon. Makanya, setelah 20 tahun berlalu, pohon akan kembali mulus dan bisa ditempati oleh bayi lain.
Serupa dengan tempat pemakaman lain di Tana Toraja, penempatan kuburan bayi di Pohon Tarra’ ini juga disesuaikan dengan strata sosial keluarga. Semakin berposisi atas tempat penguburannya, maka hal itu menunjukkan semakin tinggi pula derajat sosial dari keluarga sang bayi. Selain itu, sisi lubang lubang pemakaman juga disesuaikan dengan arah tempat tinggal keluarga.
Hal yang paling unik namun nyata adalah tiadanya aroma busuk di sekitar pohon ini meskipun ada banyak bayi meninggal di sana. Bahkan sesuai penuturan masyarakat adat setempat, lubang kuburan ini akan menutup dengan sendirinya pasca 20 tahun masa pemakamannya. Oleh karenanya masyarakat tak pernah khawatir kehabisan tempat pemakaman di Pohon Tarra’ ini.
Tarra akan dilubangi sesuai dengan ukuran badan sang bayi, lalu bayi dimasukkan ke dalamnya tanpa sehelai pakaian apapun. Tidak memakain sehelai kain karena mereka percaya bahwa berada di dalam batang pohon ini diibaratkan bayi mereka merada di dalam rahim. Kemudian lubang akan ditutup dengan sabut ijuk yang diambil dari pohon enau.
Bayi-bayi itu akan ditempatkan menghadap ke rumah duka, sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga. Strata sosial mempengaruhi tinggi penempatan, semakin tinggi status sosialnya maka akan semakin tinggi posisi kuburannya.
Bagi masyarakat Suku Tana Toraja, pemakaman ini adalah satu hal yang sakral dalam mengakhiri kehidupan seseorang. Tak heran jika banyak sekali adat dalam mengantar mereka ke peristirahatan terakhirnya ini.
pasti penasaran kan, makanya buruan kesini, jangan hanya tinggal berdiam diri di rumah menunggu kopi hangat dari warung tetangga!
Keindahan alam dan budaya leluhur yang dimiliki orang Toraja menjadi daya pikat tersendiri. Memasuki pusat kota Toraja, teman-teman akan disuguhkan kemegahan rumah-rumah tongkonan yang menjadi simbol kekayaan tradisi leluhur ini.
Tidak berhenti sampai di situ. Di tempat yang lain, teman-teman akan melihat berbagai hal unik dari upacara adat, kuburan batu, hingga kuburan khusus bayi. Ya, Toraja menjadi salah satu daerah di dunia yang menyakini kesakralan kematian bayi.
Mendengar orang yang meninggal di makamkan dalam tanah merupakan hal yang biasa dan sudah lumrah, apalagi jika beragam islam, sudah pasti media pemakamannya di dalam tanah. Terus bagaimana jadinya jika manusia dimakamkan di dalam batang pohon. Yah, inilah adat dan budaya yang unik dan menarik yang diperankan oleh suku Toraja. Mereka memakamkan bayinya bukan dalam tanah melainkan dalam batang sebuah pohon.
Kambira merupakan salah satu kampung yang berlokasi di Kecamatan Sangalla, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Apabila ditempuh dari Rantepao yang merupakan ibu kota Toraja Utara tempat ini memang lumayan jauh. Akan tetapi akan menjadi dekat tatkala kita menempuhnya dari Makale, yaitu ibu kota Tana Toraja.
Namanya pohon Tarra, Pohon yang tinggi menjulang ini menjadi tempat peristirahatan terakhir anak penduduk Toraja yang meninggal dunia. Pemakaman ini sering pula disebut sebagai Passilirang oleh masyarakat Suku Toraja.
Pohon Tarra menjadi media kuburan bayi mereka karena pohon ini memiliki banyak getah putih yang mereka yakini dan percaya bahwa getah yang terkandung dalam batang pohon ini bisa menjadi pengganti ASI (Air Susu Ibu). Akan tetapi, pemakaman seperti ini khusus untuk bayi yang baru lahir dan belum sempat menikmati hidup bersama orangtuanya. Dalam adat mereka, penguburan bayi dalam pohon Tarra ini tidak sembarangan. Bayi yang berhak masuk ke tanaman ini adalah bayi yang usianya belum mencapai 6 bulan dan belum tumbuh gigi.
Selain pohon ini dipercaya getahnya bisa menjadi sumber ASI untuk bayi, mereka juga meyakini bahwa pohon ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan sudah dimanfaatkan oleh nenek moyang mereka yang menganut kepercayaan Aluk Todolo.
Dari segi ukuran, pohon ini bisa tumbuh sangat besar, dengan diameter sekitar 80 hingga 100 cm. Pohon ini juga hanya bisa tumbuh dan hanya dapat ditemukan di Desa Kambira, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Letaknya di tengah hutan, di tengah rerimbunan pohon bambu dan tanaman liar lain. Usia pohon-pohon yang tua membuat tempat tumbuh pohon ini dijadikan sebagai objek wisata, Kambira Baby Graves
Selain mengandung banyak getah sebagai air susu, batang Tarra juga dipercaya sebagai rahim bagi bayi. Masyarakat Kambira percaya bahwa bayi adalah makhluk suci, maka bersemayam di dalam pohon ini sama artinya dengan menyelamatkan generasi selanjutnya. Dalam artian, bayi yang meninggal dalam sebuah keluarga lalu dimakamkan di dalam pohon Tarra akan mampu mencegah kematian bayi selanjutnya.
Dalam satu pohon Tarra bisa ditempati oleh banyak bayi, namun uniknya pohon yang ada di tengah hutan ini tak pernah mengeluarkan bau busuk, sebanyak apapun penduduk yang memenuhi batangnya. Hal tersebut diyakini oleh masyarakat karena Tarra merupakan wujud yang menghidupi. Para bayi yang dimasukkan dalam ‘rahim’ pohon ini akan menyatu dengan sendirinya berkat bantuan getah pohon. Makanya, setelah 20 tahun berlalu, pohon akan kembali mulus dan bisa ditempati oleh bayi lain.
Serupa dengan tempat pemakaman lain di Tana Toraja, penempatan kuburan bayi di Pohon Tarra’ ini juga disesuaikan dengan strata sosial keluarga. Semakin berposisi atas tempat penguburannya, maka hal itu menunjukkan semakin tinggi pula derajat sosial dari keluarga sang bayi. Selain itu, sisi lubang lubang pemakaman juga disesuaikan dengan arah tempat tinggal keluarga.
Hal yang paling unik namun nyata adalah tiadanya aroma busuk di sekitar pohon ini meskipun ada banyak bayi meninggal di sana. Bahkan sesuai penuturan masyarakat adat setempat, lubang kuburan ini akan menutup dengan sendirinya pasca 20 tahun masa pemakamannya. Oleh karenanya masyarakat tak pernah khawatir kehabisan tempat pemakaman di Pohon Tarra’ ini.
Tarra akan dilubangi sesuai dengan ukuran badan sang bayi, lalu bayi dimasukkan ke dalamnya tanpa sehelai pakaian apapun. Tidak memakain sehelai kain karena mereka percaya bahwa berada di dalam batang pohon ini diibaratkan bayi mereka merada di dalam rahim. Kemudian lubang akan ditutup dengan sabut ijuk yang diambil dari pohon enau.
Bayi-bayi itu akan ditempatkan menghadap ke rumah duka, sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga. Strata sosial mempengaruhi tinggi penempatan, semakin tinggi status sosialnya maka akan semakin tinggi posisi kuburannya.
Bagi masyarakat Suku Tana Toraja, pemakaman ini adalah satu hal yang sakral dalam mengakhiri kehidupan seseorang. Tak heran jika banyak sekali adat dalam mengantar mereka ke peristirahatan terakhirnya ini.
pasti penasaran kan, makanya buruan kesini, jangan hanya tinggal berdiam diri di rumah menunggu kopi hangat dari warung tetangga!