Uniknya Budaya Suku Kajang di Tanah Toa

Siapa sih yang tidak kenal dengan Suku Ammatoa, sebuah suku yang identik dengan pakaian berwarna hitam bermukim di Kajang Kab. Bulukumba


www.itusaya.com/Kopinya belum pas butuh tambahan gula biar lebih nikmat. Yah, pagi ini raut wajah mentari sudah mulai tersenyum dari wajah mungilnya diufuk barat setelah beberapa hari sebelumnya nampak murung hingga mengeluarkan air mata sedunya. Teman-teman tahu tidak sebuah suku yang sangat terkenal di Butta Pinisi, menurut info dari teman-teman waktu kuliah dulu sih. Suku ini sangat disegani bahkan sebagian besar dari teman kuliah, sangat takut dengan kemampuan mistis yang dimiliki oleh suku ini. Jika belum tau, melalui tulisan ini penulis akan mencoba mengupas tuntas seperti apasih suku yang satu ini. Namun sebelumnya, jangan lupa sambil membaca sesekali menyedu kopi dihadapannya biar hangatnya berasa.

Suku yang dimaksud adalah suku kajang, suku yang biasa disebut sebagai Suku Ammatoa kadang juga disebut masyarakat Patuntung atau masyarakat kamase-masea. Suku ini merupakan masyarakat lokal yang berdiam di dalam kawasan Ammatoa di Desa Tana Toa, daerah yang sering juga di istilahkan Possi Tana (dalam bahasa konjo) dan wilayah Balagana, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Untuk sampai kesini dibutuhkan waktu sekitar 5-6 jam atau berjarak sekitar 195 kilometer dari kota Makassar. lokasi ini bisa diakses hanya dengan mengendarai angkutan darat seperti angkutan umum dan angkutan pribadi. Namun, penulis sarankan sih lebih baik menggunakan kendaraan pribadi atau mobil rental biar tidak repot. Karena jika menggunakan angkutan umum, setelah sampai di kota pinisi, teman-teman masih harus melanjutkan perjalanan sekitar 1 jam menuju ke lokasi ini. Maklumlah, suku ini terletak dikawasan luar kota kabupaten yang jarang dilalui mobil angkutan umum.

Suku ini merupakan satu masyarakat lokal yang dinilai memiliki sistem kepercayaan unik yang sekaligus masih melestarikan adat istiadat dan budaya leluhurnya,sangat berbeda dengan suku lain.
Secara geografis masyarakat Kajang dibedakan menjadi dua yaitu “Kajang Dalam” dan “Kajang Luar” Kawasan Adat Ammatoa Kajang sendiri berada di empat dusun yaitu Dusun Benteng, Sobbu, Pangi dan Balambina, dengan pusat pemerintahan adat berada di Dusun Benteng,. Kawasan adat inilah yang dikenal luas sebagai Kajang Dalam atau disebut kawasan Ammatoa, meski orang Kajang sendiri menyebutnya Rambang Seppang, sementara Kajang bagian luar mereka disebut Rambang Luara.

Masyarakat Kajang Dalam adalah masyarakat yang benar-benar berpegang teguh pada budaya dan tradisi nenek moyangnya. Seperti, tidak menggunakan alas kaki, tidak menggunakan kendaran beroda dua dan empat, dalam hal penerengan juga masih menggunakan pelita. Pokoknya, suku ini tidak jauh deh dari pengaruh zaman now teman-teman. Liat aja, kita sudah menggunakan sepatu, mereka tidak menggunakan alas kaki sama sekali. Tapi awas loh, jangan bilang tidak gaul karena mereka memang memilih untuk hidup dalam kesederhanaan.

Dari sini teman-teman pastinya penasaran kan seperti apasih keunikan dari suku Kajang dalam atau sering di sebut Ammatoa. Tapi sebelum lanjut, ingat dong untuk menyedu secangkir kopi jangan sampai beku. Sambil menikmati kopi kahayya, Yuk kita uraikan satu persatu, biar teman bisa paham tentang suku yang satu ini.

Tahu tidak jika seluruh rumah Suku Kajang menghadap ke arah barat. Hal itu bukan tanpa alasan teman, barat dianalogikan sebagai sebuah arah dimana simbol dari nenek moyang mereka berada. Konsep rumah yang mereka bangun juga seragam. Hal itu mereka lakukan untuk mengungkapkan nilai kesederhanaan dan simbol keseragaman. Lebih dari itu, material yang mereka gunakan untuk membangun rumah bukanlah batu bata atau tanah. Membangun rumah dengan material tersebut adalah sebuah pantangan bagi mereka. Sebab, mereka percaya bahwa hanya orang mati saja yang diapit oleh liang lahat dan tanah.

Rumah masyarakat suku Kajang terbagi dalam 3 tingkatan. Bagian atas disebut Para, merupakan tempat yang dianggap suci, biasanya dipakai untuk menyimpan bahan makanan. Bagian tengah disebut Kale bola (ruangan rumah) sebagai tempat tinggal. Dan bagian bawah disebut Siring (kolong rumah) sebagai tempat beraktifitas seperti menenun kain atau Sarung hitam (tope le’leng) merupakan pakaian khas masyarakat Kajang. Konsep ini sekaligus merupakan wujud fisik manusia yang terdiri dari kepala, badan, dan kaki.

Berbeda dengan kondisi dalam rumah pada umumnya. Saat masuk pertama kali, yang dijumpai adalah dapur, kemudian ruang tamu. Antara dapur dan ruang tamunya tidak bersekat, ini juga merupakan simbol penghormatan dan keterbukaan pada tamu, yang berarti apapun yang dimakan oleh pemilik rumah maka, wajib membagi kepada tamunya.Namun, menurut informasi yang penulis dapat, tidak serta merta tamu bisa mencicipi makan bersama pemilik rumah. Tamu hanya dapat mencicipi makanan yang ada, jika saat berkunjung pas melihat asap yang mengepul diatas dapur. Dapur mereka berada di depan karena mereka menganggap dapur merupakan tempat yang selalu kotor, dan menganggap dapur adalah bagian kaki. Konon, konsep ini tidak hanya menunjukkan kesederhanaan. Mereka juga menganggapnya sebagai simbol keseragaman. Mereka percaya, jika ada keseragaman tidak akan ada rasa iri di antara mereka.

Terus bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa konjo, bahasa yang di gunakan sehari-hari untuk berkemunikasi antar sesama masyarakat kajang, seperti pada pasang atau pesan nenek moyang berikut “Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a’dakka ko nu kamase-mase, a’mia’ ko nu kamase-mase” yang memiliki arti berdiri sederhana, duduk sederhana, berjalan sederhana, berbicara pun dengan sederhana.

Bahasa Konjo merupakan satu bahasa dari bahasa Melayu-Polinesia yang dituturkan di Sulawesi Selatan. Penuturnya adalah suku Konjo Pesisir, yang tinggal di kawasan pesisir, di sudut tenggara bagian Selatan pulau Sulawesi.

Sebagian besar Suku Kajang memeluk agama Islam. Meskipun demikian, mereka juga mempraktikkan sebuah kepercayaan adat yang disebut dengan Patuntung. Patuntung diartikan sebagai mencari sumber kebenaran. Hal itu menyiratkan bahwa apabila manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran, maka mereka harus menyandarkan diri pada tiga pilar, yaitu Tuhan, tanah, dan nenek moyang. Keyakinan kepada Tuhan adalah kepercayaan yang paling mendasar dalam kepercayaan patuntung. Suku Kajang percaya bahwa Tuhan adalah pencipta dari segala sesuatu, Mahakekal, Mahamengetahui, Mahaperkasa, dan Mahakuasa.

Selain itu, agama yang dianut oleh masyarakat suku kajang adalah agama islam atau dalam bahasa konjo di sebut “Sallang” dan Tuhan yang di yakini untuk meminta adalah Allah atau dalam bahasa konjo di sebut “ Turie’ A’ra’na” (orang yang memiliki keinginan). Mereka juga memiliki sebuah filosofi salat yaitu “ je’ne talluka, sumbayang tala tappu” yang berarti wudu yang tidak perna batal, sembahyang yang tidak pernah putus.

Tuhan atau yang disebut sebagai Turie’ A’ra’na menurunkan perintah atau wahyunya kepada Suku Kajang melalui manusia Kajang pertama yang disebut Ammatoa. Wahyu tersebut dalam kepercayaan mereka disebut dengan pasang. Pasang yang hendak disampaikan bukanlah sembarangan. Pasang tersebut berisi panduan hidup Suku Kajang dalam segala aspek dan lika-liku kehidupan. Nenek moyang mereka menurunkan pasang itu secara lisan dari generasi ke generasi. Suku Kajang sendiri diwajibkan untuk mematuhi pasang tersebut. Mereka berkeyakinan bahwa apabila mereka melanggar Pasang yang ada, berbagai macam hal buruk akan terjadi dalam kehidupan mereka. Mereka mengenal sebuah filosofi menyangkut hal itu, yaitu “kalau kita jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh lagi. Kalau kita langkahi, kita akan lumpuh.
Agar pasang tersebut dipatuhi oleh seluruh Suku Kajang, Ammatoa harus terus menjaga dan menyebarkan serta melestarikan pasang tersebut. Keberadaan Ammatoa diyakini sebagai mediator atau penghubung antara manusia (Suku Kajang) dengan Tuhan. Mitos yang berkembang di kalangan Suku Kajang mengatakan bahwa Ammatoa adalah manusia pertama yang diturunkan diperkampungan mereka. Lokasi pemukiman yang sekarang mereka huni diyakini sebagai tempat pertama kalinya Ammatoa diturunkan oleh Tuhan. Tidak heran jika kemudian mereka menyebutnya sebagai Tanah Toa yang berarti Tanah tertua yang diwariskan oleh leluhur mereka.

Ammatoa disebut sebagai manusia pertama yang mendirikan komunitas Suku Kajang sekaligus pemimpin tertinggi mereka. Menurut cerita yang berkembang, Ammatoa turun ke perkampungan Suku Kajang dengan mengendarai burung Kajang yang konon diyakini sebagai cikal bakal terciptanya manusia. Setelah itu, terciptalah manusia yang menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Di antara banyaknya manusia yang diciptakan oleh Tuhan itu, orang Kajang dari Tana Toa adalah yang paling ia sayangi. Bagi Suku Kajang sendiri, kepercayaan kepada Ammatoa itu dipercaya sebagai sebuah ralitas. Di tanah tempat Ammatoa pertama kali mendarat, mereka mendirikan perkampungan yang kemudian dinamai sebagai Tanah Toa atau tempat pertama kalinya manusia turun ke bumi. Oleh sebab itu, Suku Kajang meyakini Ammatoa sebagai pemimpin tertinggi mereka, yang mereka ikuti ajaran dan petuahnya dalam kehidupan sehari-hari

Selain itu, suku Kajang sangat menghormati lingkungannya, mereka memperlakukan hutan seperti seorang ibu yang harus dihormati dan dilindungi. masyarakatnya dilarang keras menebang kayu memburu satwa atau memungut hasil- hasil hutan hal tersebut dipercayai bisa mendatangkan kutukan bagi pelaku dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat karena dapat mengakibatkan berhentinya air mengalir dilingkungan mereka.

Setiap pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan adat Tana Toa akan mendapatkan sanksi berupa hukum adat. Ada beberapa hukum adat mulai dari hukuman paling ringan sampai paling berat. hukuman paling ringan atau disebut juga cappa’ba’bala, hukuman sedang disebut tangnga ba’bala, dan hukuman paling berat di sebut cappa’ ba’bala.
www.itusaya.com

Suku Ammatoa Kajang


Ada dua bentuk hukuman lain di atas hukuman denda yaitu tunu panroli (membakar linggis) dan tunu passau. Tunu panroli biasanya dilakukan bagi kasus pencurian bertujuan untuk mencari pelakunya. Caranya seluruh orang yang di curigai harus memegang linggis yang membara setelah dibakar. jika tersangka lari dari hukuman dengan meninggalkan kawasan adat Tana Toa, maka pemangku adat akan menggunakan tunu passau. caranya Ammatoa akan membakar kemenyan dan membaca mantra yang dikirimkan ke pelaku agar jatuh sakit atau meninggal secara tidak wajar. Adanya hukum adat dan pemimpin yang sangat tegas dalam menegakkan hukum membuat masyarakat kawasan adat Tana Toa sangat tertib dan mematuhi segala peraturan dan hukum adat.

Selaku pemimpin adat, Ammatoa membagi hutan dalam tiga bagian. Yaitu, hutan keramat “hutan karamaka”, hutan perbatasan “hutan batasayya” serta hutan rakyat “hutan laura”. Hutan keramat diakui sebagai hutan pusaka dan dijadikan kawasan hutan larangan untuk semua aktifitas, kecuali kegiatan ritual. Hutan ini sangat dilindungi, mereka meyakini kawasan ini sebagai tempat turunnya manusia terdahulu yang juga lenyap di tempat tersebut. Masyarakat juga yakin, hutan ini tempat naik turunnya arwah dari bumi ke langit.

Apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan hutan yang seluas 317,4 hektar ini, maka akan dikenakan denda Rp.1.200.000 di tambah dengan sehelai kain putih serta mengembalikan barang yang telah diambil dari daerah tersebut. berbeda dengan hutan perbatasan yang merupakan hutan yang bisa ditebang beberapa jenis kayunya, akan tetapi harus dengan izin Ammatoa dan kayu yang diambil dari kawasan itu hanya untuk membangun fasilitas umum, serta untuk rumah bagi komunitas Ammatoa yang tidak mampu.

Selain demikian, sebelum melakukan penebangan pohon, orang tersebut diwajibkan melakukan penanaman sebagai penggantinya. Ketika sudah tumbuh subur, penebangan baru akan dilakukan dengan menggunakan alat tradisional serta mengangkatnya secara gotong royong keluar dari areal hutan.

Nah, apabila seorang menebang kayu di kawasan ini tanpa izin, maka dikenakan denda 800 ribu rupiah. Dan ketika terjadi kelalaian yang menyebabkan kerusakan hutan, dikenakan denda 400 ribu rupiah. Kedua denda tersebut dilengkapi dengan sehelai kain.

Yang terakhir adalah hutan rakyat, meskipun hutan ini dikuasai dan di kelola oleh rakyat. Tapi hukum adat masih tetap berlaku. Denda atas pelanggaran di kawasan ini sama dengan denda hutan perbatasan. Selain sanksi denda, orang yang melakukan pelanggaran tersebut juga dikenakan hukum adat berupa pengucilan. Yang lebih parahnya lagi, pengucilan tersebut berlaku bagi semua keluarga sampai generasi ketujuh.

Suku Kajang mempunyai struktur kelembagaan. Bahkan, semua individu yang mendapat posisi dalam struktur tersebut, melaksanakan amanah secara jujur, tegas dan konsisten. Mereka paham arti tugas dan tanggung jawab. Pemimpin mereka disebut Ammatoa, pelajaran mereka dapatkan dari alam sekitar.

Ketika Ammatoa meninggal, maka pemimpin adat berikutnya akan dipilih setelah tiga tahun lamanya. Para calon Ammatoa dikumpulkan, kemudian seekor ayam dilepaskan. Ketika ayam tersebut hinggap pada salah seorang calon, maka dialah yang menjadi pemimpin adat berikutnya. Selain itu, sebila keris juga menjadi penanda terpilihnya kepala suku atau Ammotoa. Sebilah keris kepercayaan menjadi simbol kepercayaan pilihan untuk menjadi kepala suku ditandai dengan hadir dan dimilikinya sebilah keris keramat oleh salah satu calon.

Dalam hal kebudayaan, beberapa peninggalan dari para leluhur mereka yang sangat di jaga dan kemudian mereka lestarikan yaitu kesenian dan alat industri rumah tangga berupa alat tenun “pattannungang” dan alat pertanian tradisional. Kegiatan menenun dilakoni oleh kaum perempuan. Kaum perempuan harus pandai membuat sarung hitam “Tope Le’leng” dan passapu yang digunakan sehari-hari. Alat pertanian yang menjadi peninggalan leluhur mereka yang bersifat tradisional misalnya parang, cangkul, linggis, dan lain-lain.

Ada lagi nih yang tak kalah kerennya dari suku yang satu ini. Ada yang tau nggak, pastinya tidak lepas dari ciri khasnya, jika berkunjung ke kawasan ini harus mengenaikan pakaian yang berwarna hitam. Pastinya teman-teman akan ditolak jika mengenaikan pakaian selain hitam. Seperti halnya mereka, Pakaian yang di gunakan masyarakat Kajang Dalam adalah pakain yang berwarna hitam, karena warna hitam bagi mereka merupakan sebuah symbol dari kesederhanaan, seperti pada prinsip masyarakatnya yaitu “tallasa kamase-mase” ( hidup sederhana), mulai dari baju, sarung hitam (tope le’leng), sampai dengan penutup kepala yang di gunakan kaum laki-laki (passapu). Selain itu penggunaan alas kaki juga dilarang untuk di gunakan.

www.itusaya.com

Suku Ammatoa Kajang

Suku Kajang pantang untuk mengenakan pakaian selain berwarna hitam dan putih. Warna tersebut menurut pasang yang mereka percayai mengandung arti kesederhanaan. Sarung hitam yang dikenakan laki-laki merupakan buatan mereka sendiri yang dilakukan dengan menenun, kemudian direndam ke dalam larutan yang terbuat dari daun tarum yang menyebabkannya menjadi hitam pekat. Pakaian perempuan pun terdiri dari sarung dan baju bodo yang berwarna hitam pekat.

Gimana teman-teman, pastinya tertarik kan untuk berkunjung ke kawasan adat yang satu ini. Yuk, buruan berkunjung biar bisa merasakan sensasi hidup di masa lalu. Tapi ingat jika berkunjung, jangan sekali-kali bawa hal-hal yang berbau tekhnologi yah. Termasuk handphone dengan merk apapun atau semacamnya, pastinya tetap akan ditolak di kawasan ini. Makanya disini tekhnologi bermerk tak ada gunanya, sekali pun merk handphone teman-teman adalah iphone tipe terbaru.

Selain itu, ingat yah sebelum masuk kawasan, alas kakinya harap dilepas biar bisa merasakan sensasinya berjalan diatas bebatuan, diiringi dengan sensasi keindahan hutan belantara. Yah anggap saja berjalan dialam yang hanya di iringi dengan kicauan burung dan suara jangkrik. Satu lagi nih, jangan sekali-kali memutar musik di dalam kawasan, sekalipun menggunakan headset karena memang tidak diperbolehkan. Termasuk merusak tanaman disekitar kawasan atau mengambil foto tanpa seizin kepala suku. Nanti kualat loh.

IS Media menggunakan cookie untuk menawarkan dan memastikan pengalaman menjelajah yang lebih baik. Selengkapnya!